Ekonomi di Era Joko Widodo

Kemenko Perekonomian menghadapi tantangan yang tidak ringan sejak Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dilantik pada 20 Oktober 2014. Tantangan itu terutama datang sebagai dampak dari lesunya perekonomian global. Ini bisa dilihat dari perkembangan ekonomi global hingga semester I 2015 yang masih memperlihatkan kecenderungan pertumbuhan yang bias ke bawah dari perkiraan semula dan pasar keuangan global yang masih diliputi ketidakpastian. Adapun kondisi makro, 4 prospek memburuknya ekonomi, dan paket kebijakan dari pemerintah sebagai berikut:

Kondisi Makro
Sebagai dampak perkembangan ekonomi global tersebut pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga triwulan II 2015 masih melambat, yakni sebesar 4,67% (yoy), menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 4,72% (yoy). Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2015 yang masih melambat ini terutama akibat melemahnya pertumbuhan investasi, konsumsi pemerintah, dan konsumsi rumah tangga.
Dari sisi eksternal, ekspor tumbuh terbatas seiring dengan pemulihan ekonomi global yang belum kuat dan harga komoditas yang masih menurun. Di sisi lain, pertumbuhan impor terkontraksi lebih dalam sejalan dengan lemahnya permintaan domestik.
Perkembangan Neraca Perdagangan Indonesia pada semester I 2015 mencatat surplus, terutama ditopang oleh surplus neraca nonmigas. Surplus neraca perdagangan tersebut mendorong perbaikan defisit transaksi berjalan pada triwulan II 2015 yang lebih baik dari prakiraan sebelumnya yaitu 2,5% dari PDB, dan lebih baik dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 3,9% dari PDB.
Nilai tukar rupiah mengalami depresiasi, terutama dipengaruhi faktor eksternal. Pada Juli 2015, rupiah melemah ke level Rp 13.311 per dolar AS dari sebelumnya di kisaran Rp 12.025 pada hari pertama pemerintahan Jokowi-JK. Angka ini bahkan terus merosot hingga hampir mencapai Rp 14.800 pada bulan September 2015. Beruntung, kondisi ekonomi global dan kerja keras pemerintahan Jokowi-Jk berhasil memperkokoh nilai rupiah kembali ke kisaran Rp 13.500 pada pertengahan bulan Oktober 2015.
Sejalan dengan pergerakan rupiah, perkembangan harga saham juga mengalami tekanan. Pada awal November 2014 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat sebesar Rp 5.085,51  merosot menjadi  Rp 4.120,5 di akhir September 2015 akibat derasnya arus modal asing yang keluar dari Bursa Efek Indonesia. Tapi rangkaian Paket Kebijakan Ekonomi pemerintah yang diterbitkan sejak 9 September 2015 telah membawa persepsi positif kepada investor pasar modal, sehingga IHSG naik kembali menjadi Rp 4.591,91 pada 19 Oktober 2015. 
Sebagai akibat kebijakan penyesuaian harga BBM pada bulan November 2014, inflasi melonjak menjadi 8,36 % (yoy) pada akhir tahun 2014. Melalui kebijakan pengendalian harga pangan dan harga barang yang diatur oleh pemerintah, tingkat inflasi secara bertahap menurun. Pada bulan September 2015 inflasi menjadi 6,83% (yoy) atau 2,24% (ytd). Dengan pengendalian inflasi yang ketat hingga di tingkat Pemerintah Daerah, maka  inflasi diperkirakan di kisaran 4%pada akhir tahun 2015. Penurunan inflasi sebagian disebabkan melemahnya daya beli masyarakat akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi khususnya di wilayah pertambangan dan perkebunan.
Perekonomian diperkirakan mulai meningkat pada triwulan III dan berlanjut pada triwulan IV 2015. Peningkatan tersebut didukung oleh akselerasi belanja pemerintah dengan realisasi proyek-proyek infrastruktur yang semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan berbagai upaya khusus yang dilakukan pemerintah untuk mendorong percepatan realisasi belanja modal, termasuk dengan menyiapkan perangkat aturan yang diperlukan. Sementara itu, konsumsi juga diperkirakan membaik, seiring dengan ekspektasi pendapatan yang meningkat dan penyelenggaraan Pilkada serentak pada triwulan IV 2015.

4 Prospek Memburuknya Ekonomi di Era Jokowi
Prospek perekonomian nasional di masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, dinilai akan lebih buruk dari kondisi di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pelbagai tantangan datang dari dalam negeri maupun dari ekonomi global.
Wakil Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) Raden Pardede menyampaikan. Pemerintah perlu mengambil kebijakan antisipatif yang terkoordinasi seperti transformasi struktural. "Kebijakan bauran semuanya antara kebijakan pendapatan, investasi dan lain-lain," kata Raden di Hotel Grand Hyatt, Jakarta
Gejolak pasar global akibat kondisi Amerika Serikat yang berencana menaikkan suku bunga The Fed, dan perbaikan kondisi ekonomi, serta gejolak harga minyak dunia akibat kondisi timur tengah yang memanas, serta kondisi pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat menjadi tantangan kepemimpinan Jokowi-JK.
Tim Ekonomi kabinet mendatangpun punya pekerjaan besar. Lantas apa saja prosek pemburukan ekonomi era Jokowi-JK? berikut rangkumannya.
  • Inflasi melonjak
Pemerintah mendatang perlu melakukan antisipasi terhadap ancaman inflasi. Inflasi akan mencuat tinggi jika pemerintahan Jokowi mengambil kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi. Meningkatnya harga-harga, selain karena BBM naik juga adanya kenaikan Tarif Dasar Listrik yang sudah terjadi sejak pemerintahan SBY.
"Tidak bisa hanya dengan kebijakan moneter saja. Harus ada bauran moneter antara struktur, harga dan lain sebagainya. Harus ada antisipasi tekanan inflasi karena penyesuaian harga BBM atau listrik tahun ini atau tahun depan. Kita tunggu," tutupnya.
PDI Perjuangan mencatat tiap kenaikan Rp 500 per liter BBM subsidi maka akan menambah orang miskin sebanyak 1.525.000 orang. Kondisi tersebut bakal berlipat jika kenaikan sebesar Rp 1.000 atau Rp 2.000 per liter 
  • Defisit neraca perdagangan

Merujuk data dwi bulanan Badan Pusat Statistik, pada Agustus 2014 Indonesia mengalami defisit perdagangan USD 318,1 juta. Dengan demikian, akumulasi defisit selama Januari-Agustus 2014 mencapai USD 1,4 miliar.
Tahun 2014, merupakan keempat kalinya Indonesia mengalami defisit . Defisit sebelumnya terjadi pada Januari, April, dan terakhir Juni. Anjloknya kinerja non-migas, diperparah borosnya kebutuhan Bahan Bakar Minyak di dalam negeri.
BPS mencatat dua bulan lalu defisit sektor migas mencapai USD 801 juta. Indonesia memang mengalami untung jualan gas USD 1,3 miliar. "Memang terutama karena impor minyak ya. Karena kebutuhannya di dalam negeri tinggi," kata Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin.
  • Likuiditas ketat

Komite Ekonomi Nasional, memperingatkan pemerintahan Jokowi-JK segera mengeluarkan kebijakan antisipatif akan pengurangan atau pengetatan likuiditas perbankan yang kemungkinan terjadi di masa mendatang.
Wakil Ketua KEN, Raden Pardede menegaskan, harus ada protokol potensi bisnis yang harus dilakukan dengan tahap yang tepat. Melambatnya perekonomian dunia, sudah terasa berdampak di Indonesia. Bahkan, pemerintah SBY telah mengoreksi angka pertumbuhan ekonomi dari 5,6 persen menjadi 5,1 persen.
"Sekarang domestik mengalami twin defisit yaitu defisit APBN dan defisit neraca perdagangan di tengah perlambatan ekonomi. Biasanya defisit itu karena ekspansi ekonomi. Kali ini justru di tengah kontraksi ekonomi," tegasnya.
  • Ketimpangan kaya miskin besar

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah lima tahun mendatang, di samping penurunan kemiskinan dan pengangguran. Pemerintah Jokowi-JK harus mengejar penurunan ketimpangan antara orang miskin dan kaya dari 0,41 persen menjadi 0,35 persen.
Dalam kurun 10 tahun terakhir, gini rasio BPS naik menjadi 0,41 persen dari sebelumnya sebesar 0,33 persen. Walaupun, angka ini masih kecil dibandingkan dengan China sebesar 0,5 persen dan Afrika Selatan sebesar 0,6 persen. Tetapi, kondisi ini tidak boleh dianggap sepele karena dapat berdampak buruk pada stabilitas ekonomi nasional.
"Dampak ketimpangan banyak sekali, bukan hanya kelompok bawah merasa iri dan frustasi, tetapi kelompok atas juga akan merasa pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak menguntungkan sama sekali," kata Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Sugeng Bahagijo.
 

Paket Kebijakan Ekonomi
Terhadap dinamika ekonomi (politik) global yang sedang terjadi, kapasitas kita memang terbatas. Karena itu yang bisa dilakukan adalah melakukan pembenahan dari dalam. Membenahi berbagai regulasi sebagai bagian dari wilayah otoritas dan tanggung jawab pemerintah untuk mendorong mesin ekonomi bergerak kembali.
Ibarat mesin mobil, sudah waktunya kita melakukan overhaul: mengganti dan membuang spare parts lama yang aus, rusak, atau yang performanaya tak bagus lagi. Dan menggantinya dengan komponen baru yang segar dan sesuai kebutuhan serta pelumas yang berkualitas agar mesin bisa bergerak lebih cepat dan lincah, bahkan ketika berada pada medan yang sulit.
Maka kalau kita perhatikan, Paket Kebijakan Ekonomi yang dikeluarkan sejak 9 September 2015, berupaya untuk menyentuh berbagai aspek. Tujuannya untuk menangkal perlambatan ekonomi yang disebabkan oleh kondisi ekonomi global dan domestik dengan cara memperbaiki struktur ekonomi yang lebih kondusif bagi berkembangnya industri, kepastian berusaha di bidang perburuhan, kemudahan investasi, memangkas berbagai perizinan serta memperluas akses masyarakat untuk mendapatkan kredit perbankan.
Berbagai upaya deregulasi yang tertuang dalam Paket Kebijakan Ekonomi ini membuat kepercayaan pasar mulai membaik. Ini terlihat dari pergerakan nilai tukar yang semakin stabil, meminimalisasi pemutusan hubungan kerja (PHK) dan iklim ekonomi (kegiatan berusaha) yang lebih kondusif.
Pemerintah juga berupaya agar penyerapan anggaran bisa ditingkatkan. Kalau pada semester I tahun 2015, penyerapan anggaran baru mencapai Rp 436,1 triliun atau 33,1 persen dari pagu Rp 1.319,5 triliun, maka pada bulan September 2015, penyerapan anggaran sudah di atas 60 persen. Menurut Menteri keuangan, hingga akhir tahun pemerintah optimistik penyerapan anggaran bisa mencapai 94-95 persen.
Beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah untuk mendorong perbaikan ekonomi antara lain:
Di bidang perdagangan, pemerintah telah meluncurkan Indonesia National Single Window (INSW) yang diperbarui, sehingga siapa pun dapat memantau keluar-masuk barang ekspor-impor melalui satu sistem. Dengan demikian akurasi data dan informasi kepabeanan dapat dipertanggung-jawabkan dengan transparan atau dapat diakses oleh semua pihak yang berkepentingan.


Pada sebuah kesempatan bersama beberapa wartawan lain, Radio Pelita Kasih berkesempatan untuk berbincang ringan seputar perkembangan ekonomi di Indonesia, khususnya ekonomi Indonesia di era Jokowi. Perbincangan santai itu dilakukan bersama seorang pemerhati sosial ekonomi di Indonesia, Tjahjadi Nugraha. Membuka pembicaraannya, menurut Tjahjadi, pada masa pasca perang dingin ini, kekuatan kapitalisme global tak lagi terbendung. Dengan melihat kondisi demikian, Tjahjadi menyadarkan semua untuk memahami bahwa perekonomian suatu bangsa tidak bisa lepas dari perekonomian negara lainnya. Ini menyiratkan bahwa kemajuan dan kemunduran perekonomian sebuah negara selalu dipengaruhi perkembangan perekonomian global. Dan ekonomi global saat ini sedang mencari suatu titik keseimbangan. “Ini yang namanya krisis,” begitu ungkap Tjahjadi menjelaskan kondisi pencarian titik keseimbangan itu.
Tjahjadi yang juga seorang pengusaha pada kesempatan itu mengatakan bila Indonesia mengalami pelemahan rupiah, maka hal itu sebagai dampak dari krisis dunia. Penyataan itu mengingatkan kita bagaimana dalam beberapa waktu sebelumnya negara Yunani dinyatakan bangkrut, dan negara Tiongkok yang melakukan devaluasi Yuan, atau Rupee India yang terus mengalami ancaman keterpurukan. Krisis Yunani yang menjalar dari negara ke negara, menunjukan bagaimana keterikatan bangsa-bangsa dalam penataan ekonominya. Pergolakan antar negara dan antar warga dalam sebuah negara di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara juga negara Ukraina di Eropa, juga dua Korea yang sempat saling serang, ternyata juga menjadi dinamika perekembangan ekonomi global. Kondisi ini tidak bisa menutupi perkembangan perekonomian sebuah negara yang memiliki ketergantungan pada perkembangan ekonomi negara-negara lain yang saling mengikatkan perekonomian negaranya.
Keterikatan yang berjalan itu kian memperlihatkan bentuk saling ketergantungan yang bukan membangun peradaban, namun justeru membawa keterpurukan peradaban bersama. Indonesia yang menjadi negara yang ada dalam kesepakatan saling ketergantungan itu, harus merasakan dampak yang ditimbulkan setiap kali gejolak ekonomi di bumi ini. Gejolak ekonomi sebuah negara yang memiliki ikatan yang sama dengan Indonesia, tentunya memberikan dampak bagi Indonesia pada akhirnya. Buakan itu saja, bersama negara-negara sekawasannya, negara-negara ASEAN, Indonesia tidak bisa menghindari kemerosotan nilai tukar terhadap dollar Amerika Serikat. “Dollar memang sempat mencapai 14 (ribu rupiah-Red),” begitu Tjahjadi membenarkan. “Tapi kalau 14 itu sama-sama dirasakan di seluruh dunia...,” masih Tjahjadi melanjutkan, “itu ‘kan bukan krisis (di Indonesia saja)” tambahnya lagi. Tjahjadi mengatakan, krisis dunia kali ini sedang bergulir namun masih bisa diimbangi sikap bijak Indonesia.
Sebagai bagian dari bangsa-bangsa di kawasan ASEAN, keterpurukan ekonomi dunia yang bukan hanya dirasakan dua negara terluas wilayahnya di kawasan, yaitu Indonesia dan Malaysia. Filipina, Thailand, Camboja, Myanmar, Vietnam, Laos,dan Timor leste, serta Brunei bahkan juga Singapura, yang dikenal dengan kestabilan ekonominya di kawasan ASEAN, juga mengalami keterpurukan yang sama. Namun ukuran wilayah dan penduduk sangat mempengaruhi masing-masing lokal negara. Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang paling merasakan dampak peredaran mata uang dolar Amerika Serikat terhadap masing-masing mata uang negara-negara kawasan. Namun demikian beberapa media di Asia dan internasional masih melihat bahwa investor dunia masih mencermati Indonesia dan Malaysia sebagai negara yang belum berada di tingkat kepanikan keuangan, sekali pun sebagai negara yang terpapar dampak krisis Yunani.
Ketenangan masing-masing negara terindikasi karena langkah-langka beberapa negara dia Asia, selain juga masih adanya cadangan devisa yang cukup guna mempertahankan mata uang masing-masing. Sebagai catatan, pelemahan mata uang di Indonesia dan Malaysia saat ini, bagi masa depan Indonesia tidak memiliki risiko yang lebih besar ketimbang Malaysia, yang masih memiliki tingkat utang dolar AS yang jauh lebih tinggi. Tidak heran bila Menteri Keuangan Republik Indonesia, Bambang Brodjonegoro kepada wartawan mengatakan bahwa kondisi ekonomi Indonesia masih terkendali. Menkeu juga mengatakan bahwa seluruh indikator makro menunjukkan belum ada tanda-tanda yanga mengarah pada krisis seperti ketika dunia mengalami krisis finansial di tahun 1998. Kerja keras yang tampak lai ini adalah usaha-usaha bagaimana Indonesia bisa menghindari krisis-krisis yang pasti akan terus datang dan pergi dalam perputaran perekonomian dunia.
Tjahjadi juga mengingatkan, bahwa keterpurukan finansial kali ini sebagai akibat politik keuangan Amerika Serikat, khususnya Federal Reserve Bank yang biasa disebut The Fed. Mata uang Amerika Serikat itu digambarkan Tjahjadi sebagai waduk. “Waduk itu diatur oleh pengendalinya,”kembali Tjahjadi menjelaskan. Naik turunnya suku bunga uang Amerika menurut Tjahjadi dikendalikan oleh The Fed. “Kalau diturunkan dia mengalir keluar,” papar Tjahjadi. “Kalau dinaikan dia mengalir masuk,” lanjutnya menjelaskan. Bagi Tjahjadi, krisis yang berlangsung ini adalah masalah suku bunga yang adalah masalah kemampuan ekonomi Amerika. Amerika yang merasa terdesak dalam pengendalian suku bunganya, tentunya akan langsung menaikan suku bunganya. “Dinaikan 2,5% saja, semua kembali ke sana dolarnya,” begitu Tjahjadi menjelsakan peredaran mata uang dolar yang tidak berimbang, hingga mengakibatkan krisis global.
Namun demikian, bagi Tjahjadi, semua orang harus mengakui bahwa basis internal ekonomi Indonesia saat ini masih rapuh. Indonesia yang seharusnya tidak mengalami, namun beberapa kali harus mengalami krisis ekonomi. Hal ini menurut Tjahjadi karena Indonesia sebagai negara yang terikat dengan perjanjian terbuka dengan blok Barat sejak tahun 1967. “Kaki kita terikat sejak 67,” demikian Tjahjadi memberikan kiasan keberadaan Indonesia pada masa itu. Tjahjadi yang juga seorang pendeta itu mengatakan, bahwa Indonesia pada awal kekuasaan Presiden Suharto menyerahkan dirinya untuk diikat saat ditandatanganinya undang-undang Penanaman Modal Asing atau PMA, di kota Viena. Ikatan itu dimulai dengan pemberian PMA dengan insentif yang membuat Indonesia terikat oleh ekonomi sistem pasar. “Ini akibat,” demikian Tjahjadi mengatakan. Ia memberi gambaran berkali-kalinya Indonesia mengalami krisis sebagai akibat.
Indonesia digambarkan Tjahjadi sebagai manusia yang tangan, kaki, bahkan perutnya terikat sejak lama diikat. Danuntuk melepaskan ikatan-ikatan tersebut, Indonesia tidak diperhadapkan oleh situasi yang tidak mudah. “Apalagi kaki tangan yang tukang mengikat itu ada di Indonesia,” Tjahjadi mengangkat kesadaran tentang banyaknya pro asing yang sekaligus juga tantangan bagi Jokowi. Dan tugas pemerintah saat ini dan ke depan adalah mencari cara melepaskan ikatan yang ada. Hal ini bertujuan sebagai usaha-usaha melepaskan ikatan Global yang masih mungkin menyeret negeri ini kembali dalam situasi krisis yang sama di waktu mendatang. Cita cita Tri Sakti yang menjadi dasar Nawacita Jokowi tentunya harus terus diperjuangkan, agar keinginan Jokowi JK bersama Kabinet Kerjanya dapat membawa Indonesia mewujudkan Tri Sakti Bung Karno, yaitu berdaulat di Politik, mandiri di ekonomi dan berkepribadian bangsa.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMPERSIAPKAN DIRI MENGHADAPI PERSAINGAN TENAGA KERJA LOKAL DENGAN TENAGA KERJA ASING