Apa sih sengketa tanah itu? Berikut penjelasan, contoh kasus dan solusi penyelesaiannya

MAKALAH
ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

HUKUM PERDATA

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Aspek Hukum dalam Ekonomi
Dosen: Muhammad Firdaus 


Disusun oleh:
Ibnu Raisa Rizkianto
23215213

FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI
UNIVERSITAS GUNADARMA

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah Subhanahu Wata’ala, atas rahmat dan karunianya sehingga  penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini meskipun dalam waktu yang mendesak.
Makalah Aspek Hukum dalam Ekonomi yang berjudul “HUKUM PERDATA DAN CONTOH KASUSNYA” ini dibuat sebagai tugas satu untuk tugas perorangan  dalam kuliah Aspek Hukum dalam Ekonomi.
Tak lupa juga saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
a.       Pak Muhammad Firdaus selaku dosen mata kuliah Aspek Hukum dalam Ekonomi.
b.      Teman teman yang telah membantu menyarankan penulisan makalah ini tepat waktu, dan rela meminjamkan buku untuk bahan penulisan makalah ini.
c.       Kedua orang tua saya yang telah memberikan semangat moril maupun materiil
d.      Dan Bapak Prawoto selaku pembimbing sekaligus pemberi contoh kasus sengketa lahan yang terjadi antara TNI dengan Ujang Iskadar
Harapan penulis supaya dosen mata kuliah aspek hukum dalam ekonomi ini dan para pembaca sekalian dapat memberikan komentar kritik dan saran yang memiliki nilai etika dan moral yang bersifat membangun demi kesempurnaan ilmu pengetahuan.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala urusan kita. Aamiin.
Wassalam




                                                                                         Depok, 8 Maret 2017

                                                                                                       Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
 Hukum perdata di Indonesia adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuaanya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya. Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara obyek hukum.
Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari- hari.

B.     Rumusan Masalah

1.      Pengertian hukum
2.      Pengertian hukum perdata
3.      Pengertian hukum tanah
4.      Pengertian sengketa tanah
5.      Contoh kasus sengketa tanah
6.      Solusi penyelesaian sengketa lahan

C.    Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui hukum perdata dan sekelumit tentang hukum perdata serta contoh kasus sengketa lahan dan penyelesaiannya.




BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Hukum
Hukum berasal dari bahasa arab yang berbentuk mufrad (tunggal). Kata jamaknya diambil alih dalam bahasa indonesia menjadi “hukum”. Hukum juga dinamakan recht yang berasal dari kata rechtum, di ambil dari bahasa latin yang berarti pimpinan atau tuntunan atau pemerintahan.
Di dalam ilmu ushul fiqih terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan hukum, yaitu hukum (الحكم), hakim (الحاكم), mahkum fihi (محكوم فيه), dan mahkum ‘alaih (محكوم عليه). Secara bahasa hukum (الحكم) berarti man’u (المنع) yang berarti “mencegah”, hukum juga berarti qadla’ (القضاء) yang berarti “putusan”.
Adapun secara istilah, pengertian hukum menurut ulama’ ushul yaitu:
الحكم هو خطاب الشارع المتعلق بافعال المكلفين , طلبا او تخييرا او وضعا
“Hukum adalah khitab syari” (Allah) yang berhubungan dengan perbuatan seoarang mukallaf, berupa tuntutan, pilihan ataupun ketetapan.
Dapat disimpulkan bahwa hukum bermakna sebuah ketentuan atau peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan dan bagi yang melanggarnya akan mendapatkan hukuman atau sanksi sesuai dengan kesalahan yang diperbuat.

2.      Pengertian Hukum Perdata
Yang dimaksud dengan Hukum Perdata ialah hukun yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam masyarakat. Perkataan Hukum Perdata dalam arti yang luas meliputi semua Hukum Privat Materiil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana.
Untuk Hukum Privat Materiil ini ada juga yang menggunakan dengan perkataan Hukum Sipil, tapi oleh karena perkataan sipil juga digunakan sebagai lawan dari militer maka yang lebih umum digunakan nama Hukum Perdata saja, untuk segenap peraturan Hukum Privat Materiil (Hukum Perdata Materiil).
Dan pengertian Hukum Privat (Hukum Perdata Materiil) ialah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perseorangan di dalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan. Dalam arti bahwa di dalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan sesuatu pihak secara timbal balik dalam hubungannya terhadap orang lain di dalam suatu masyarakat tertentu.
Disamping Hukum Privat Materiil, juga dikenal Hukum Perdata Formil yang lebih dikenal sekarang yaitu dengan HAP (Hukum Acara Perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata. Di dalam pengertian sempit kadang-kadang Hukum Perdata ini digunakan sebagai lawan Hukum Dagang
Definisi Menurut para Ahli:
a.       Sri Sudewi Masjchoen Sofwan: Hukum yang mengatur kepentingan warga Negara perseorangan yang satu dengan perseorangan lainnya
b.      Prof. Soediman Kartohadiprodjom, S.H.: Hukum yang mengatur kepentingan perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lainnya
c.       Sudikno Mertokusumo: Hukum antar perseorangan yang mengatur hak dan kewajiban perseorangan yang satu terhadap yang lain dalam lapangan berkeluarga dan dalam pergaulan masyarakat
d.      Prof. R, Soebekti, S.H.: Semua hak yang meliputi hukum privat materiil yang mengatur kepentingan perseorangan

3.      Pengertian Hukum Tanah
Istilah tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasas latin agre berarti tanah atau sebidang tanah .agrarius berarti persawahan, perladangan, pertanian. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanahan atau tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah, dalam bahasa inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha pertanian, sedang dalam UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang akar. Struktur tanah yang berongga-rongga juga menjadi tempat yang baik bagi akar untuk bernafas dan tumbuh. Tanah juga menjadi habitat hidup berbagai mikroorganisme. Bagi sebagian besar hewan darat, tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak.
Hukum agraria dalam arti sempit yaitu merupakan bagian dari hukum agrarian dalam arti luas  yaitu hukum tanah atau hukum tentang tanah yang mengatur mengenai permukan atau kulit bumi saja atau pertanian
Hukum agraria dalam arti luas ialah keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandungdidalamnya.Hukum agraria memberi lebih banyak keleluasaan untuk mencakup pula di dalamnya berbagai hal yang mempunyai hubungan pula dengannya, tetapi tidak melulu mengenai tanah.
Definisi hukum agraria menurut para ahli :
a.       Mr. Boedi Harsono: Ialah kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
b.      Drs. E. Utrecht, S.H.: Hukum agraria menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat administrasi yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria, melakukan tugas mereka.
c.       Bachsan Mustafa, S.H.: Hukum agrarian adalah himpunan peraturan yang mengatur bagaimana seharusnya para pejabat pemerintah menjalankan tugas dibidang keagrariaan
d.      Subekti: Menjelaskan bahwa “Agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalamnya dan di atasnya, seperti telah diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria”.
e.       Menurut Lemaire: Hukum agraria sebagai suatu kelompok hukum yang bulat meliputi bagian hukum privat maupun bagian hukum tata negara dan hukum administrasi negara.
f.       S.J. Fockema Andreae: Merumuskan Agrarische Recht sebagai keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai usaha dan tanah pertanian, tersebar dalam berbagai bidang hukum (hukum perdata, hukum pemerintahan) yang disajikan sebagai satu kesatuan untuk keperluan studi tertentu.

4.      Pengertian Sengketa Tanah
Sengketa menurut kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, konflik dapat terjadi karena adanya pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok ataupun organisasi-organisasi. Winardi berpendapat pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain. Adapun tujuan seseorang dalam memperkarakan sengketa adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan.
Tanah dapat definisikan menurut ilmu pastinya adalah kumpulan tubuh alam yang menduduki sebagian besar daratan planet bumi,yang mampu menumbuhkan berbagai tanaman dan sebagai tempat makhluk hidup lainnya untuk melangsungkan kehidupan. Dapat disimpulkan sengketa tanah merupakan perebutan hak atas kepemilikan tanah yang jelas maupun karena kepemilikan tanah yang tidak jelas, dan sengketa tanah terjadi karena ada sebuah kepentingan dan hak.
Sengketa tanah banyak terjadi karena adanya sebuah benturan kepentingan antara siapa dengan siapa. Sadar akan pentingnya tanah untuk tempat tinggal atau kepentingan lainnya menyebabkan tanah yang tidak jelas kepemilikannya diperebutkan bahkan ada yang sudah jelas kepemilikannyapun masih ada yang diperubutkan, hal ini terjadi karena masyarakat sadar akan kepentingan dan haknya, selain itu harga tanah yang semakin meningkat. Menurut Rusmadi Murad timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan.
Peraturan yang berlaku kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim/pengaduan/keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Kasus pertanahan dapat berupa permasalahan status tanah, masalah kepemilikan, masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.

5.       Contoh Kasus Sengketa Tanah
Kasus antara TNI Angkatan Udara Pangkalanbun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah dengan bupati Ujang Iskandar. Memperebutkan tanah seluas 30,2 hektar yang berada di sekitar tanah milik Lanud Iskandar Pangkalanbun.
Dengan sengketa yang dari pertengahan tahun 2012 setelah bupati Ujang diangkat dan setelah kerusuhan yang terjadi, tanah sengketa ini akan dibangun sebuah komplek pertokoan, tetapi ternyata sudah ada yang memiliki lebih dahulu yaitu TNI dengan akta tanah tahun 1980an serta terdapat beberapa patok tanah yang masih menancap milik Lanud. Karena keadaan lokasi yang semi hutan, di Kalimantan itu kebanyakan tanah bentuknya yaitu seperti hutan dan seperti alam liar yang tidak ada yang mengurusnya.
Karena pemanfaatan yang kurang dari pihak TNI AU, tanah sengketa menjadi seperti tanah terlantar dan di daftarkan kepada sekertaris PPAT dan mendapat nomor pendaftaran akta tanah tahun 2005 tanpa melihat secara langsung di lokasi yang di sengketakan tersebut. Kesalahan pada masalah ini yaitu tentang pendaftarannya dari pihak pembuat akta tanah yang tidak serta merta mengecek lahan yang menjadi sengketa ke lapangan secara langsung. Dengan kelalaian tersebut maka terjadilah pemilik ganda dari tanah tersebut.
Tujuan pendaftaran tanah yaitu untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah. Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah, maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status atau kedudukan hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan batas-batasnya, siapa yang mempunyai, dan beban-beban apa yang ada diatas tanahnya.
Dengan begitu maka cara untuk mendaftarkan tanah sudah benar yaitu melalui notaris didaftarkan melalui kantor pendaftaran tanah setempat tetapi pegawai pembuat akta tanah tersebut kurang cermat dalam pembuatan serta tidak teliti dalam mengecek apakah tanah itu sudah ada yang punya atau belum, begitu juga pihak Lanud yang tidak serta merta dengan merawat tanah tersebut dan alasannya yaitu mereka memiliki tanah yang sangat luas dan belum mampu untuk selalu merawat tanahnya. Tetapi sering tanah-tanah tersebut dibuat latihan bagi para prajurit TNI AU yang bertugas.
Dengan alasan yang kuat dari pihak Lanud yaitu tanah akan digunakan sebagai lahan untuk latihan prajurit tentara serta mereka juga melaksanakan tugas negara sudah ada kewajiban untuk menggunakannya karena merupakan amanah dari negara untuk memperkuat kesatuan wilayah Indonesia. Akirnya pihak dari TNI menggugat di pengadilan untuk memperkarakan secara hukum sengketa tanah ini.
Hak atas tanah yang dilekatkan pada tanah-tanah yang dimanfaatkan oleh TNI adalah hak pakai. Pasal 41 UUPA menerangkan definisi hak pakai, yaitu hak menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
Hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu, dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Jangka waktu hak pakai ini diterangkan dalam Pasal 43 UUPA, yaitu:
a.       Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai oleh negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan ijin pejabat yang berwenang.
b.      Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain,jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
c.       TNI merupakan lembaga pemerintah dibawah Departemen Pertahanan, hak atas tanah-tanah yang digunakan untuk kepentingan TNI adalah hak pakai.
 TNI merupakan lembaga pemerintah dibawah Departemen Pertahanan, hak atas tanah-tanah yang digunakan untuk kepentingan TNI adalah hak pakai.Hak pakai adalah suatu hak benda dari seoarang yang telah ditentukan yang dibebankan atas benda orang lain untuk memelihara bentuk dan sifatnya serta selaras. Maksudnya memakai sendiri benda itu dan mengambil hasil-hasilnya jika ada, akan tetapi sekedar buat keperluan sendiri.
Pembuat Undang-Undang Pokok Agraria memberi kesempatan bagi setiap orang yang memegang Hak Milik Adat di seluruh Indonesia untuk mendaftarkan haknya dan akan memperoleh sertifikat Hak Milik melalui prosedur konversi Hak Adat (Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria).
Jadi walaupun itu berdasarkan tanah adat maupun turun temurun dari nenek moyang tetap harus berdasarkan hukum yang berlaku, karena Indonesia ini adalah negara hukum dan lebih kuat juga bila ada bukti hukum yang pasti seperti surat tanah atau akta tanah tersebut. Sangatlah penting tentang surat tanah yang salah satu manfaatnya yaitu untuk kepastian hukum.

6.      Solusi Penyelesaian Sengketa Tanah
Pada hakikatnya, kasus pertanhan merupakan benturan kepentingan di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa. Sebagai contoh konkret antara perseorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum;  badan hukum dengan badan hukunm dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respon/ reaksi/penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah), berupa solusi melalui Badan Pertanahan Nasional dan solusi melalui Badan Peradilam. Solusi penyelesaian sengketa tanah dapat ditempuh melalui cara berikut ini:
A.    Solusi melalui Badan Pertanahan Nasional
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya pengaduan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negaara di bidang pertanhan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut.
Dengan adanya pengaduan tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat/surat keputusan pemberian hak atas tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Kasus pertanahan meliputi beberpa macam antara lain mengenai masalah status tanah, masalah kepemilikan, masalah bukti-buti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak da sebagainya. Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih lajut atau tidak. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanhan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat letak tanah yang disengketakan.
Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajan kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedut, kewenangan dan penarapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijikan ini dituangakan dalam Surat Ederan Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1192 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan dari Pengadilan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan (serfitikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitianm asas keterbukaan, asas persamaan di dalam melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesainnya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaries sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pembatalan keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/adminstrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasa hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain:
1.      Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2.      Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3.      Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan
4.      Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999
5.      Dalam praktik ini terdapat perorangan/badan hukum yang merasa kepentingannya dirugukan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Naasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.

B.     Melalui Badan Peradilan
Apabila penyelesaian melalui musyawarah di antara para pihak yang bersengketa tidak tercapai, demikian pula apabila penyelesaian secara pihak dari Kepala Badan Pertanahan Nasional tidak dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, maka penyelesaiannya harus melalui pengadilan.
Setelah melalui penelitian ternyata Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional sudah benar menurut hukum dan sesuai dengan prosedut yang berlaku, maka Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat juga mengeluarkan suatu keputusan yang berisi menolak tuntutan pihak ketiga yang berkeberatan atas Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional tersebut. Sebagai konsekuensi dari penolakan tersebut berarti Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan tersebut tetap benar dan sah walaupun ada pihak lain yang mengajukan ke pengadilan setempat.
Sementara menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukun tetap, dilarang bagi Pejabat Tata Usaha Negara yang terkait mengadakan mutasi atas tanah yang bersangkutan (status quo). Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya masalah di kemudian hari yang menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang berperkara maupun pihak ketiga, maka kepada Pejabat Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan yang terkait harus menerapkan asas- asas umum pemerintahan yang baik, yaitu untuk melindungi semua pihak yang berkepentingan sambil menunggu adanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Kemudian apabila sudah ada putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan mengusulkan permohonan pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan yang telah diputuskan tersebut di atas. Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan laporan mengenai semua data yang menyangkut subjek dan beban yang ada di atas tanah tersebut serta segala permasalahan yang ada.
Kewenagan administrative permohonan pembatalan suatu Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah atau Sertifikat Hak Atas Tanah adalah menjadi kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional termasuk langkah-langkah kebijaksanaan yang akan diambil berkenaan dengan adanya suatu putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan. Semua ini agar diserahkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk menimbang dan mengambil keputusan lebih lanjut. Di bidang pertanahan, belum ada suatu peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit memberikan dasar hukum penerapan Alternatif Dispute Resolution (ADR). Namun, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak menggunakan lembaga ADR di bidang pertanahan berdasarkan 2 (dua) alas an, yaitu: Pertama, di dalam setiap sengketa perdata yang diajukan di muka pengadilan, hakim selalu mengusulkan untuk penyelesaian secara damai oleh para pihak (Pasal 130 HIR). Kedua, secara eksplisit cara penyelesaian masalah berkenaan dengan bentuk dan besarnya ganti kerugian dalam kegiatan pengadaan tanah diupayakan melalui jalur musyawarah.
Keputusan Presidne Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembagunan untuk Kepentingan Umum, (Keppres Nomor 53 tahun 1993) dan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 1 tahun 1994 yang merupakan peraturan pelaksanaan Keppres Nomor 55 tahun 1993, mengatur tentang tata cara melakukan musyawarah secara cukup terinci. Dalam perkembangannya, hal ini dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 yang telah dilengkapi dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 2007. Dengan berlakunya Perpres No. 36 tahun 2005, maka Keppres No. 55 tahun 1993 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dengan berjalannya waktu, penyelesaian sengketa melalui ADR secara implicit dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Dalam struktur organisasi Badan Pertanahan Nasional dibentuk satu kedeputian, yakni Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. Badan Pertanahan Nasional telah pula menerbtikan Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan melalui Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2007. Dalam menjalankan tugasnya menangani sengketa pertanahan, Badan Pertanahan Nasional melakukan upaya melalui mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa alternative.
Pembentukan Deputi tersebut menyiratkan 2 (dua) hal, yaitu: Pertama, bahwa penyelesaian berbagai konflik dan sengketa pertanahan itu sudah merupakan hal yang sangat mendesak sehingga diupayakan membentuk kedeputian untuk penaganannya. Kedua, terdapat keyakinan bahwa tidak smeua sengketa harus diselesaikan melalui pengadilan.

BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Di zaman sekarang ini kebutuhan akan tempat tinggal meningkat, sedangkan luas tanah terbatas, sehingga menyebabkan nilai guna tanah penting sekalim apapun akan diusahakan oleh pribadi manusia untuk mendapatkan tanah yang strategis. Selain sebagai tempat untuk tinggal, tanah juga digunakan sebagai tempat mengadakan aktivitas ekonomi, jalan untuk kegiatan lalu lintas, perjanjian dan yang pada akhirnya sebagai tempat tinggal masa depan (kuburan).
Ada 2.810 kasus sengketa tanah yang berskala nasional yang tercatat oleh Badan Pertanhan Nasional. Faktor utama penyebab adalah:
a.       Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas.
b.      Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata.
c.       Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat) tanpa memperhatikan produktivitas tanah.
Sertifikat tanah merupakan tanda bukti hak yang berlaku, apabila data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Kedudukan sertifikat ini diatur dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Penyelesaian sengketa tanah dapat dituntaskan dengan beberapa cara seperti:
a.       Melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN)
b.      Melalui badan peradilan, bernegosiasi, dan lain-lain tergantung para pelakunya mengarakan kea rah mana jalan penyelesain yang baik menurutnya

2.      Saran
Banyak sekali penyebab sengketa tanah di Indonesia, baik karena fungsi tanah itu sendiri yang dibutuhkan maupun masalah administrasinya, tetapi sebagaimana dari hasil catatan Badan Pertanahan Nasional tentang kasus sengketa tanah yang terjadu di Indonesia, faktor utama penyebabnya adalah masalah administrasi sertifikat yang tidak jelas, distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata, dan legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata pada sertifikat saja tanpa memperhatikan produktifitas tanahnya. Berdasarkan faktor utama penyebab sengketa di atas dapat disimpulkan pemerintah sangat diharapkan berperan aktif supaya tidak mengalami sengketa tanah di masa akan datang, baik upaya peningkatan administrasi yang mana harus jeli melihat dan akan membuat sertifikat-sertifikat tanah, agar tidak ada yang berduplikat maupun dalam pembagian tanah untuk pemukiman yang merata bagi setiap rakyat Indonesia. Di sisi lain disarankan juga bagi masyarakat yang akan membeli, memperoleh tanah maupun akan membuat surat bukti kepemilikan tanah agar berhati-hati melihat kelegalan surat-surat atau dokumen-dokumen kepemilikan tanah yang ada supaya tidak terjadi permasalahan nantinya.



DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Abdulkadir,  Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014.
Sofwan, Sri Sudewei Masjchoen, Hukum Perdata dan Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty.
Harun, Nasrun, Ushul Fiqih 1, Ciputat; PT Logos Wacana Ilmu, 1997.
Wahhab Khalaf, Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Suardi, Hukum Agraria, BP Iblam, Jakarta, 2005.

Achmad Chomzah, Ali. Hukum Agraria (Pertahanan Indonesia), Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2004.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMPERSIAPKAN DIRI MENGHADAPI PERSAINGAN TENAGA KERJA LOKAL DENGAN TENAGA KERJA ASING